Senin, Februari 23, 2009

Kunjungan Sang Bijak

Dalam keheningan malam Sang Bijak datang dan berdiri di sisi ranjang tidurku, menatapku bagaikan ibu yang prihatin. Dia menyeka air mataku sambil berkata, “Telah kudengar ratapan jiwamu dan aku datang untuk menghiburmu. Bukalah hatimu kepadaku agar aku dapat mengisinya dengan cahaya. Mohonlah kepadaku, dan akan kutunjukkan jalan kebenaran.”

Akupun berkata, “Siapakah aku ini, wahai Sang Bijak, dan bagaimana aku sampai tiba di tempat mengerikan ini? Apakah arti semua kerinduan ini, apa arti semua buku dan tanda-tanda alam ini?

“Apa arti pikiran berkelebatan yang melintas bagai kepak merpati? Apa makna perkataan ini, yang diungkapkan karena niat dan disampaikan karena minat? Apa sebab-musabab yang menyedihkan dan menyenangkan itu, yang merangkul jiwaku dan membalut hatiku?

“Pandangan mata apakah yang terarah kepadaku itu, yang menghujam ke dalam diri terdalamku, yang mengabaikan deritaku? Suara apakah yang berkabung atas hari-hariku, yang menyanyikan kisah masa kecilku?

“Masa muda apakah ini, yang bermain-main dengan nafsuku, yang memperolok perasaanku, yang melupakan sikap pengecut pada hari terdahulu, yang menikmati saat-saat santai, yang benci akan merambatnya hari esok?

“Dunia apakah ini yang menyeretku ke arah yang tak kusadari, yang merendahkanku? Dan, bumi apakah ini yang mengangakan mulutnya menelan tubuh-tubuh, tapi membesarkan nafsu majal di dadanya?

“Manusia apakah ini yang memburu kesenangan, yang rela menerima siksa sebagai imbalannya; yang mencintai kehidupan tapi berdekatan dengan kematian? Manusia apakah ini yang membeli kenikmatan sesaat dengan setahun penyesalan, tapi membiarkan dirinya tertidur lelap dalam impiannya; yang mengikuti terusan kebodohan yang membawanya ke muara kegelapan? Apa makna semua ini, wahai Sang Bijak?”

Sang Bijak menjawab, “Wahai makhluk fana….engkau ingin melihat dunia melalui mata seorang dewa, dan berharap memahami misteri alam mendatang dengan akal manusia. Ketahuilah….itulah puncak kebodohan…

“Pergilah engkau ke padang terbuka, dan saksikanlah lebah menyerbuki bunga-bunga dan elang menyambar mangsa. Berkunjunglah ke rumah tetanggamu, maka engkau akan melihat seorang bocah yang asyik terpesona oleh api tungku, sementara ibunya sibuk dengan pekerjaan rumah tangga…

“Maka tirulah perilaku lebah dan janganlah menghabiskan hari-hari musim semi dengan meniru perbuatan elang. Jadilah seperti bocah itu, yang bahagia dengan cahaya api dan tidak mengganggu kesibukan ibunya…

“Semua yang engkau saksikan adalah karena dan untuk kepentinganmu. Kebanyakan buku-buku, pikiran-pikiran cemerlang dan polanya yang aneh itu adalah wahana jiwa-jiwa yang mendahuluimu. Kata-kata yang mereka sampaikan adalah simpul antara engkau dengan sesama saudaramu. Sebab-akibat yang menghasilkan kesedihan dan kesenangan adalah benih masa lalu yang ditebar di pekarangan jiwa, yang di masa depan akan dipanen buahnya…

“Masa-masa muda yang bermain-main dengan nafsumu adalah sosok sama yang membuka pintu hatimu, yang membanjirinya dengan cahaya…

“Bumi yang mengangakan lambungnya itu adalah yang mengantarkan dirimu kepada kebebasan, lepas dari belenggu jasmanimu sendiri…

“Dunia yang kau benci ini adalah hatimu sendiri, dan hatimu adalah semua yang kaupahami sebagai duniamu…

“Orang yang kaulihat tampak bodoh dan kerdil itu adalah makhluk yang juga datang dari hadirat Allah, yang mempelajari kegembiraan dari kesedihan, yang belajar pengetahuan melalui kegelapan…”

Sang Bijak kemudian menaruh tangannya di dahiku yang demam sembari berkata pula, “…Teruslah melangkah dan jangan terlambat, karena di sana terletak kesempurnaan. Teruslah melangkah dan janganlah takut pada aral melintang di jalan, karena semua ketakutan itu dihela oleh darah yang tercemar.”

Tidak ada komentar: